*Jeremy Salt
“Sayangnya, Timur Tengah dalam bayang bayang ancaman nuklir. Kita tidak akan menyerah.”
Komentar ini disampaikan perwakilan pemerintahan Arab di akhir 60-an setelah mendapatkan informasi intelejen jika Israel telah membuat bom untuk pertama kalinya setelah negeri Zionis itu mengembangkannya selama 10 tahun.
Di Timur Tengah hanya Israel satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir. Negara-negara Arab dan sekitarnya berada dibawah bayang-bayang senjata nuklir Israel selama empat dekade. Iran mempunyai program nuklir yang cukup maju namun tidak memiliki senjata nuklir. Israel sendiri mengonfirmasi jika Iran” mungkin atau akan dalam waktu segera” mencapai kemampuan teknis produksi senjata nuklir. Hal serupa dinyatakan intelejen.
IAEA membenarkan jika Iran tidak memiliki senjata nuklir dan tidak ada tanda-tanda mengembangkannya. disamping Iran sendiri menegaskan tidak akan mengembangkan senjata nuklir. Namun tidak seperti Israel, Iran menandatangani NPT.
Sejak Mordecau Vanunu membocorkan informasi dan foto tentang fasilitas nuklir Israel di Dimona kepada London Sunday maka keraguan itu menjadi sirna. Dalam masa pemerintahan Kennedy, Israel menginjinkan para ilmuwan nuklir AS ‘mengunjungi’ Dimona namun tidak berlanjut pada masa pemerintahan Nixon karena dipandang tidak efektif. Ketika para ilmuwan masuk ke fasilitas nuklir Dimona, mereka melakukannya dalam keadaan terburu-buru, dilarang melihat secara jelas dan mengkonfirmasikan pengembangan senjata nuklir Israel.
Di era 60-70an, atas sepengetahuan Gedung Putih, Israel mengembangkan senjata nuklir yang mampu menjangkau seluruh ibukota negara-negara Arab. Jika mau, AS dapat menekan Israel secara finansial dengan menolak mensuplai kebutuhan persenjataan modern Israel. Namun atas instruksi Gedung Putih pula, para pejabat senior pemerintah tidak melakukan hal tersebut. AS tidak mendapatkan konsensi apapun selain komitmen Israel untuk tidak menggunakannya di kawasan tersebut untuk pertama kali.
Pada awalnya kementerian luar negeri dan departemen pertahanan berjanji untuk menekan Israel agar meninggalkan pembuatan senjata nuklirnya dan bersedia menandatangani NPT. Namun keinginan itu redup seiring penolakan Gedung Putih. Akusisi ini tidak pelak merusak kebijakan anti proliferasi senjata nuklir AS.
Logikanya, beberapa negara Timur Tengah akan mengikuti jejak Israel. Namun yang mengejutkan, tak satupun yang melakukannya selama empat dekade kecuali kemudian Iran. Iran pada akhirnya mencapai kemampuan membuat senjata tersebut. Israelpun menanggapinya secara emosional. Monopoli akuisisi nuklir artinya tidak ada perang yang tidak dapat dimenangkan Israel. Israel dapat meluluhlantakkan pihak musuh jika mau. Jadi permasalahan ini lebih dari sekedar keinginan bertahan sebuah negara.
Dalam diskusi panel di Konperensi AIPAC (Mei 2009), mantan Deputi Pertahanan Israel, Ephraim Sneh menjelaskan konsekuensi yang akan terjadi jika Iran memiliki senjata nuklir. Migrasi ke Israel akan ‘mengering’. Orang-orang tua akan mendorong anak-anak mereka meninggalkan Israel. Investasi akan anjlok dan proses pembuatan keputusan akan menjadi sulit karena dibayangi ketakutan atas Iran. “kelompok teroris” akan menjadi semakin lebih berani dan perjanjian damai dengan Suriah akan sulit tercapai. Ketakutan dan ketidakpastian menghantui publik Israel (66 persen mendukung aksi militer).
Padahal para pejabat intelejen, militer dan politik Israel telah bertahun-tahun mengancam Iran. Pelbagai ancaman ini dalam banyak hal sering dibenarkan Washington. Ancaman terus menerus ini pula yang menjadikan Khatami, presiden reformis Iran memperkuat kemampuan pertahanannya serta menolak tekanan AS dan ancaman Israel. Bagi Iran, pengembangan nuklir adalah untuk menggantikan enerji minyak. Iran melihat sikap AS, Dewan Keamanan dan Uni Eropa yang mendukung Israel adalah bentuk neo imperialis.
Di Wahington, Peres mengatakan bahwa Israel tidak hendak mengultimatum Amerika. Namun sejatinya Israel sedang menunggu kegagalan diplomasi Obama sehingga memiliki dalih bagi sikap lebih keras atas Iran. Menurut Israel, Iran tidak hanya menjadi ancaman Israel saja namun bagi dunia.
Dalam konperensi tahunan AIPAC, Michael Oren, kandidat duta besar Israel di Wahington menegaskan bahwa Israel tidak akan memberi kesempatan Iran memiliki senjata nuklir. Pesan serupa yang dinyatakan Netanyahu dalam kunjungannya ke Wahington. Problemanya, media arus utama masuk dalam narasi Israel. Sedikit fakta yang diungkap media jika negara-negara Arab dan Iran sejatinya selama empat dekade hidup dalam bayang-bayang senjata nuklir Israel. Media hanya mengungkap ancaman Iran tanpa memberitakan superioritas militer Israel.
Padahal, sejak I979, Republik Islam Iran hanya sekali berperang untuk mempertahankan diri dari agresi Irak di 1980. Sementara Israel dua kali menginvasi Lebanon (1982-2006), menyerang Suriah sekali (mengebom instalasi nuklirnya, September 2007) dan Gaza tidak terhitung, yang berpuncak dalam agresi tiga minggu yang mematikan akhir Desember 2008. Ini belum termasuk pelbagai operasi rahasia dan pembunuhan di wilayah pendudukan, Lebanon dan Suriah.
Di 1948, retorika kehancuran Israel selalu dikumandangkan dalam setiap perangnya. Padahal, Weizzman tahu benar jika pasukan Zionis tidak dalam keadaan genting maupun terancam kekalahan. Saat bertemu dengan Truman, 9 April 1948 (pada hari yang sama saat pembantaian Deir Yassin terjadi) dia menyatakan bahwa pilihan Yahudi kedepan adalah ‘antara memiliki negara dan pembasmian’. Apa yang diceritakan kepada delegasi AS berbeda dengan delegasi PBB: “Yahudi sama sekali tidak takut dengan Arab karena negara-negara Arab sangat tidak terorganisir dan lemah bahkan dapat dikatakan faktor nol secara militer.” Di 1956, ‘agresi tripartite’ yang dilakukan atas Mesir, perwakilan pemerintah Israel selalu menyatakan bahwa negeri mereka dikepung oleh kekuatan ‘cincin besi’. Di 1967, beberapa hari sebelum serangan atas Mesir dan Suriah, duta besar Israel di Washington berbicara tentang ancaman genosida yang dihadapi Israel sementara para jenderalnya menyakinkan sang perdana menteri jika kekuatan Arab tidak lebih busa sabun yang hanya butuh satu jarum untuk meletuskannya.
Dalam agresi Lebanon 1982, Menahem Begin menyebut Yasser Arafat Hitler lain. Di 2009, sebutan sama diberikan kepada Mahmud Ahmadinejad sementara Obama disebut Chamberlain kedua yang meminta Israel menyerahkan wilayah pendudukan demi menenangkan Iran. Yitzhak Rabin pernah menyebutkan Carter sebagai ‘orang luar tidak berpengalaman yang berbahaya yang akan membuat kesulitan bagi Israel sebelum dia belajar “kedewasaan politik”. Obamapun harus diajarinya. Lobby Yahudi bekerja keras memblok dan mengisolasinya. Selama kunjungannya ke Washington, Netanyahu seolah bersedia bekerja untuk perdamaian namun dia maupun Avigdor tidak mau menarik diri dari Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Golan.
Tim Obama mencapai kesepahaman dengan Iran atas dua isu. Untuk pertama kali, AS mengangkat isu NPT dan menuntut Netanyahu secara terbuka menyatakan dukungannya atas Negara Palestina. Netanyahu menolak tegas dengan berdalih bahwa tidak mungkin Israel menandatangani NPT maupun menarik diri dari wilayah pendudukan disaat Iran mengembangkan senjata nuklir dan mengancam Israel melalui ‘sekutunya’, Suriah dan Lebanon. Padahal, Israel tidak ada niat sama sekali untuk menandatangani NPT. Netanyahu juga tidak akan mundur dari Golan. Saat negosiasi itu berlangsung, tidak akan ada penarikan mundur dari Tepi Barat dan Yerusalem Timur kecuali kemungkinan untuk kepentingan kosmestik menutup beberapa ‘posnya’. Dalam konteks ini, ‘ancaman Iran’ tampak digunakan sebagai umpan membenarkan tindakannya. Meski demikian, ancaman serangan Israel atas Iran tidak dapat dianggap sepele.
Menurut laporan terbaru, Israel hendak menyerang Iran Mei 2008 dan ditunda setelah adanya penentangan dari Gedung Putih namun Bush sendiri telah mengeluarkan pernyataan berulang kali yang mendukung cara pandang Israel dan demikian pula terlihat kepada diri Obama. Konperensi AIPAC tahun lalu, dia menyatakan akan melakukan ‘apapun’ untuk mencegah Iran mendapatkan senjata nuklir didepan peserta konperensi. Pernyataan yang diulang tiga kali memberikan kesan yang jelas bahwa ‘apapun’ itu mencakup penggunaan kekuatan militer. Dengan mengikuti narasi Israel perihal ancaman Iran sekalipun untuk kepentingan pemilu, Obama telah tejebak dengan pernyataannya sendiri. Jika dialog gagal mendesak Iran menghentikan pengayaan uranium, pemerintah Israel dan lobby Yahudi akan kemudian berteriak lantang “anda sudah berjanji.”
Sejak pemilu, beberapa figur senior di pemerintahan (seperti Menhan Robert Gates) mencoba meredam retorika menakutkan itu, namun hanya berdampak kecil kepada publik. Publik terlanjur terjebak dengan wacana ‘ancaman Iran’ atau ancaman lainnya yang sering digunakan pemerintah AS atas pihak lain yang tidak disukai. Media Amerika juga terlanjur membaca situasi yang berkembang sama seperti cara Israel demikian pula anggota Konggres sehingga tidak pelak menciptakan situasi domestik yang mengkhawatirkan dan membuat Obamapun mengikuti cara pandang tersebut. Terlebih komentar Ahmadinejad seperti menyiram api tersebut dengan pernyataannya tentang holocaust. Maka para evangelis Kristenpun hendak membuktikan kebenaran ramalan Injil jika ‘ancaman tersebut berasal dari utara’ dan kini Hitler baru hendak mempersiapkan diri untuk ‘memusnahkan Israel dari peta.” Dalam situasi seperti itu, apapun yang hendak dikatakan Ahmadinejad menjadi tidak penting.
Dengan menjanjikan seperti itu, Obama akan mendapatkan tekanan kuat untuk menempuh langkah lebih jauh jika upaya dialog dan sanksi gagal. Pembangunan nuklir didukung semua kandidat presiden Iran sehingga hasil pemilu 7 Juni mendatang tidak akan membuat banyak perbedaan sehingga upaya Obama boleh jadi gagal. Israel sendiri cukup percaya diri dapat melakukan aksi militer tersebut tanpa melibatkan AS selain telah melakukan beberapa kali latihan. Israel boleh jadi akan melakukan aksi itu sekalipun tanpa lampu hijau AS mengingat atmosfer simpati dan sikap memahami media dan konggres atas sikap itu. Pemerintahan Obama tidak pelak akan ditinggalkan.
Tidak diragukan jika Israel mempunyai kemampuan untuk merusak atau menimpakan kerusakan substansial atas fasilitas nuklir Iran. Israel memiliki semua persenjataan yang dibutuhkan termasuk rudal paling canggih dan sistem pertahanan radar untuk melindungi dirinya dari serangan balik.
Dalam analisis CSIS di Washington, kekuatan militer Israel jauh lebih unggul dalam banyak hal. Laporan itu menjelaskan pelbagai langkah serangan yang memungkinkan mulai dari pesawat tempur dan rudal, rute penerbangan (sebelah utara mencakup Turki Selatan, Tengah, atau Suriah Selatan dan Irak dan sebelah selatan yang mencakup Arab Saudi dan Irak). Lokasi nuklir Iran meliputi fasilitas pengayaan uranium, institut riset dan pengembangan, fasilitas pengolahan air berkadar tinggi, tambang uranium, perusahaan pemurnian batu uranium, reaktor nuklir air ringan di Bushehr, reaktor nuklir air berat di Arak, perusahaan konversi uranium di Esfahan dan fasilitas pengayaan uranium di Natanz yang tersebar diseluruh negeri untuk alasan strategis. Esfahan, Natanz dan Arak adalah elemen inti dalam program nuklir Iran. Rusaknya keseluruhan atau sebagian infrastruktur nuklir akan diikuti dengan penghancuran kemampuan pertahanan Iran untuk mempertahankan diri atau menyerang balik. Ini akan melibatkan serangan atas lokasi rudal dan pangkalan udara, fasilitas angkatan laut di Teluk Persia dan bahkan infrastruktur sipil namun sangat tergantung kepada sejauh mana target strategis Israel.
Bagian akhir laporan CSIS membahas aspek perang yang tidak akan dipertimbangkan media arus utama di Amerika. Ketika pabrik-pabrik senjata kimia Irak dihancurkan AS di 1990, angin membawa sebaran racun dan limbah uranium dari bom yang digunakan dalam perang disepanjang Selatan Irak, mengakibatkan kanker dan cacat pada tubuh bayi yang lahir. Ketika Israel menyerang reaktor nuklir Osirak, reaktor itu belum terisi bahan bakar nuklir sehingga tidak berbahaya. Apa yang hendak dilakukan adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, serangan langsung kepada fasilitas nuklir aktif.
Laporan CSIS, memperkirakan korban jiwa dan kerusakan lingkungan sebagai dampak serangan di reactor Bushehr di selatan Iran berupa radioaktif akan menyebar ke Bahrain, Qatar dan Uni Emirat Arab. Ini berarti: “Setiap serangan atas reaktor nuklir Bushehr akan menyebabkan kematian dalam waktu cepat atas ribuan orang yang tinggal di wilayah yang berdekatan dengan lokasi dan ribuan lainnya menderita kanker yang mematikan atau bahkan ratusan ribu tergantung kepada kepadatan penduduk disepanjang radius kontaminasi”.
Apa yang luar biasa disini adalah bahwa sebuah negara hendak melakukan suatu aksi militer yang akan memiliki beberapa konsekuensi yang tidak diketahui oleh negara-negara terdampak namun tidak menjadi perhatian media arus utama. Tidak terkecuali negara-negara Teluk. Mereka mendukung langkah AS untuk mengisolasi Iran. Mungkin mereka tidak benar-benar mengerti apa konsekuensi serangan militer atas mereka. Melihat keseriusan Israel mempersiapkan aksi militer selama bertahun-tahun maka ancaman negeri Zionis itu tidak dapat dianggap semata permainan diplomatik. Semua rencana itu sudah dipersiapkan matang, berikut upaya kontingensinya. Namun tak satupun analisis yang meragukan betapa seriusnya isu ini bagi Israel.
Jika Obama tidak dapat bernegosiasi dengan memodifikasi beberapa aspe kunci dalam program nuklir Iran, jika sanksi bilateral dan multilateral tidak cukup menghentikan ambisi Iran, maka pemerintahan Netanyahu-Lieberman akan bertindak tanpa mempertimbangkan dunia.
*Jeremy Salt adalah associate professor Sejarah Timur Tengah dan Politik di Universitas Bilkent di Ankara, Turki.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: