*Ramzy Baroud
Tampaknya proses perdamaian Palestina-Israel dalam masalah serius. Kesan ini bahkan disampaikan media Israel sendiri. Tidak seperti sikap Kadima dan Partai buruh yang moderat, kandidat PM, Benyamin Netanyahu dipandang akan menjadi hambatan bagi negosiasi yang mengarah kepada terciptanya solusi dua negara. Meski demikian, pemberitaan media banyak terpengaruh miskonsepsi dan asumsi yang salah.
Meskipun dia penganut ideologi sayap kanan, namun dia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendahulunya dalam isu yang berkaitan dengan proses perdamaian. Banyak pihak khawatir atas proses perdamaian namun jika dilihat secara seksama proses itu sendiri sejatinya tidak ada. Israel tetap melanjutkan operasi militer dan ekspansi pemukimannya, sementara otoritas Palestina mahmud Abbas tetap melanjutkan apa yang dianggap sebagai prioritas utama politiknya, yakni mengisolasi Hamas dan mempertahankan kekuasaannya di Tepi Barat.
Dengan demikian apa yang dimaksud dengan proses perdamaian oleh media? Inilah kegagalan dalam memahami apa yang tengah terjadi. Hal yang tidak kurang membingungkan adalah fakta bahwa beberapa diplomat dan pemimpin Barat tetap mempertahankan posisi ‘tunggu dan lihat’ seraya berharap Netanyahu akan menghormati proses perdamaian -yang tidak ada- seperti halnya pendahulunya yang memilih jalan damai (yang sebenarnya juga tidak pernah ada).
Dalam pernyataannya di The National, Tony Blair yang kini menjabat utusan khusus PBB menjamin bahwa Netanyahu telah menujukkan dukungan ‘prinsip’ atas solusi dua negara, yang bertolak belakang dengan pernyataan Netanyahu sendiri. Ketika ditanya media apakah Netanyahu mendukung Palestina merdeka, dia dengan tanpa ragu menjawab, “Masalah itu sudah jelas bagi saya.”
Retorika semacam itu jika benar adalah tipuan politik demi mendapatkan dukungan. Hal sama yang pernah dilakukan Netanyahu saat dahulu menjabat PM Israel (1996). Pemimpin Likud ini sebelumnya telah mengalahkan Shimon Peres dalam Pemilu dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin Israel yang akan mengakhiri ketegangan dengan rivalnya, Partai Buruh. Dia juga menampilkan diri dihadapan media Barat sebagai pencipta perdamaian.
Kebanyakan rakyat Palestina tidak melihat perbedaan partai sayap kanan, tengah maupun kiri Israel. Apa yang dipahami mereka adalah kehadiran tentara, tank, pelbagai tempat pemeriksaan, buldoser, kawat berduri, perintah penyitaan tanah dan pelbagai simbol pendudukan dan dominasi lainnya yang hampir tidak pernah berubah sekalipun ideologi atau kecenderungan politik di Israel silih berganti.
Sesaat setelah pelantikan, Netanyahu menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin baru yang tengah menghadapi kondisi sulit. Pada satu sisi, dia berharap tidak membangkitkan kemarahan AS yang telah menginvestasikan waktu dan sumber dayanya dalam perjanjian Oslo namun disisi lain, dia menghalang-halangi setiap kemungkinan bagi kelanjutan perjanjian tersebut. Jadi dia melakukan sebagaimana kebanyakan para pemimpin Israel dalam mensiasati dilemma. Netanyahu memprovokasi kekerasan. September 1996, Netanyahu memerintahkan pembukaan terowongan dibawah Masjid al Aqsha yang tak pelak akan mengancam fundasi bangunan suci tersebut. Tujuannya jelas, memantik kemarahan rakyat Palestina di wilayah pendudukan. Beberapa hari bentrokan merenggut nyawa dan korban luka, kebanyakan dari pihak Palestina. Pemerintah Israel menggunakan insiden ini sebagai dalih untuk menunda kesepakatan Oslo dengan alasan keamanan.
Sementara pasukan keamanan Arafat melancarkan operasi penangkapan di Jalur Gaza dan Tepi Barat demi memuaskan tuntutan Netanyahu, PM Israel sendiri melanjutkan ekspansi pemukiman dan perampasan tanah Palestina. 28 Oktober, dia menyetujui pembangunan ribuan unit perumahan baru dan kemudian pembuatan pagar pembatas atas 33 pemukiman dan konstruksi 13 perumahan baru.
Di Israel, meskipun dengan pelbagai upayanya, ternyata Netanyahu tidak mampu memuaskan pemilihnya. 17 Mei 1999, pemimpin Partai Buruh, Ehud Barak terpilih sebagai PM baru. Konsekuensinya, Netanyahu mengundurkan diri dari kepemimpinan Likud.
Patut dicatat Barak menggunakan retorika perdamaian yang sama. Meskipun kenyataannya dia hampir tidak menunjukkan sama sekali keinginannya untuk memenuhi ‘konsensi menyakitkan’ yang dikehendaki dalam pembicaraan status final tersebut.
Ketika Presiden AS, Bill Clinton menyebut Barak sebagai pemimpin Israel yang dapat menjalankan perdamaian, sebaliknya rakyat Palestina tidak mendapatkan apa-apa.dalam pidato kemenangannya, Barak menjelaskan visi perdamaiannya kepada publik Israel yang berbuah sorak sorai: “Saya beritahu anda bahwa masa damai telah tiba- bukan damai karena lemah, namun damai disaat kuat dan dalam pengertian keamanan, bukan damai yang ditebus dengan keamanan tetapi perdamaian yang sebaliknya akan membawa keamanan. Kami akan pindah secepatnya kedalam 4 jalur merah keamanan yang memisahkan kita dengan warga Palestina, Yerusalem bersatu dibawah kedaulatan kita sebagai ibukota abadi, kita tidak akan kembali ke perbatasan 1967, tidak ada tentara asing di barat Sungai Yordan dan mayoritas pemukim di Yudea dan Samaria akan tetap dalam pemukiman mereka dibawah kedaulatan kita.”
Kebanyakan pemimpin partai utama di Israel sama dan satu. Bahkan acapkali sama dan bersifat konfrontatif. Dalam perspektif itu, tidak ada bedanya apakah pembunuhan di Gaza yang menewaskan 1400 jiwa itu dilakukan oleh Likud, partai Kadima ataukah Partai Buruh. Fakta yang tidak akan dipahami Blair sekalipun.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: