Walhasil, voting ditunda. 27 anggota EU sepakat memberikan dukungan bagi upaya peningkatan tersebut, namun parlemen masih membutuhkan voting. Kendati kita hormati namun langkah itu sulit untuk dipahami. Mengapa mereka masih juga memberikan dukungan kepada negara yang tidak menghormati hukum internasional?
Ini pula alasan mereka.”Saya mengikuti perkembangan di Timteng. Saya percaya ada keuntungan komersial dan ekonomi antara EU dengan satu-satunya negara Demokrasi di Timteng. Saya bersimpati dengan perjuangan rakyat Palestina tetapi dalam pandangan saya, negara Israel berada dalam posisi sulit karena serangan teroris dari Gaza.”
Atau alasan yang hampir serupa:
“Saya tahu dengan situasi di Israel dan wilayah pendudukan demikian pula penderitaan rakyat Palestina yang terjebak dalam aksi terorisme Hamas dan serangan balasan Israel…Konservatif menolak setiap pembangunan pemukiman baru namun saya mendukung perjanjian yang diperbaharui dengan Israel karena Israel adalah negara demokratis yang sama dengan Inggris dan karena nilai-nilai ini, Israel terancam eksistensi oleh kelompok Islamis.”
LIhatlah bagaimana situasi ini didefinisikan seolah Israel baik dan Hamas jahat. Apa yang dilakukan Israel hanya merespon aksi Hamas. Israel hanya menerapkan ‘pembatasan’ sebagai ganti blockade (Pada kenyataannya Israel menerapkan blockade total hingga penghancuran kapal-kapal nelayan). Membebaskan Palestina dari aksi para penjahat dan masih banyak penyesatan opini lainnya.
Opini ini sangat menyedihkan bagi saya. Israel bukanlah negara demokrasi seperti Barat melainkan ethnocracy dengan agenda rasis.
Kebebasan pers? Ketika saya mengunjungi jurnalis Israel menanyakan apakah ada kebebasan pers, mereka tertawa membantahnya. Israel melarang para jurnalis mewartakan apa yang terjadi di wilayah pendudukan.
Demikian pula dalam penghormatan hukum yang menjadi syarat demokrasi. Israel telah memenjarakan lebih dari 9000 warga Palestina tanpa proses hukum. Banyak sekali laporan yang menjelaskan bagaimana penyiksaan kerap dilakukan dan hak pemeriksaan medis yang diabaikan. Bahkan lebih jauh ketika rakyat Palestina menyelenggarakan pemilu paling demokratis dan menentukan pilihannnya di 2006, mereka sebaliknya bersepakat menghancurkan embrio demokrasi Palestina dan menempatkan rakyatnya dibawah penghukuman kolektif karena pilihan politik mereka.
Dalam konteks ini, tidakkah Hamas berhak mempersenjatai dirinya –berdasarkan hukum internasional- untuk melindungi kepentingan mereka, terlebih dari tindakan brutal sang penjajah. Sayangnya, hak itu hanya secara eksklusif diinterpretasikan milik Israel dan bukan rakyat Palestina. Roket yang diluncurkan Hamaspun di wilayah Sderot tidak sebanding baik dalam jumlah maupun korban dengan roket dan granat yang digunakan Israel di Gaza. Mengapa hal itu menjadi sulit bagi parlemen Uni Eropa untuk bertindak secara lebih adil?
Alih-alih, asosiasi parlemen EU yang tergabung dalam European Friend of Israel (EFI) mengatakan bahwa Israel terpaksa membangun tembok rasis itu. Tembok itu bukan tembok politik maupun tapal batas. Namun mereka mengabaikan fakta bahwa tembok itu menjadi instrument politik Israel untuk merampas 38 persen wilayah Tepi Barat. Parlemen EU perlu melihat konstektualisasi demokrasi dalam maknanya yang genuine dan adil.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: