Prussia di Mediterania

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 08.33


*Roane Carey
Ada asumsi universal yang dibenarkan para intelejensia liberal Amerika bahwa selain sebagai penjajah yang represif dan menjijikkan, Israel juga negara demokratis.

Hapuskan anggapan itu. Setelah tinggal tiga bulan di Israel dalam rangka fellowship, saya mendapatkan kesimpulan yang berbeda berdasarkan diskusi dengan para intelejensia liberal Israel. Beberapa hal yang terungkap diantaranya media negara itu sedang berpenyakit, gagal menyediakan dalam tingkat minimal bagi pemberitaan yang adil dan penyelidikan serius karena hal itu menjadi pilar penting bagi masyarakat terbuka. 

Bagi orang Amerika yang tidak dapat membaca dalam bahasa Yahudi atau melihat berita TV Israel dengan cara pandang distortif akan mengira bahwa Ha’aretz, harian yang bersirkulasi kecil ini namun dibaca kebanyakan kalangan intelektual, para politisi dan kalangan asing dianggap cukup representatif. Oleh karena itu kolumnis dan reporter kritis seperti Gideon Levy, Akiva Eldar dan Amira Hass seperti taburan bintang dalam media Israel. Namun hal itupun ternyata tidak benar.  Harian yang bersirkulasi lebih besar seperti Yediot dan Ma’arif demikian pula Jerusalem Post dan berita TV lainnya lebih condong ke ke kanan –seperti halnya arus utama media AS. Tentu hal demikian tidak memberikan pelajaran sama sekali kepada Israel.

Dan sebagai negara yang demokratis dan terbuka, kebanyakan orang yang saja ajak bicara takut bersikap kritis seiring dengan kemenangan pemerintahan sayap kanan. Titik nadir itu datang selama perang Gaza. Saya melihat mikrokosmo diri saya di Beer-Sheva, Universitas Ben-Gurion (BGU).

Beberapa hari lalu, Noah Slor yang kuliah di program paska sarjana untuk studi Timur Tengah ditangkap polisi atas permintaan keamanan kampus dan ditahan berjam-jam karena mengedarkan selebaran yang menentang RUU (kini disetujui Knesset) yang mengkriminalkan mereka yang memperingati Hari Nakba (hari dimana ketika warga Palestina berduka atas bencana pengusiran dan hilangnya tanah mereka pada saat warga Yahudi merayakan kemerdekaan). Dia melakukannya diluar gerbang kampus. Hal yang lazim dilakukan para mahasiswa dalam menyebarkan informasi apapun dan aparat keamanan tidak akan mengganggunya.

Aktivis mahasiswa dan para profesor menjelaskan bahwa pelecehan tersebut bermotifkan politik. Slor yang menjadi aktivis Darom le Shalom (Selatan untuk Perdamaian), sebuah kelompok yang dibentuk warga Israel dan Arab di wilayah Beer Sheva untuk “melawan rasisme dan memperjuangkan persamaan dan koeksistensi antara Arab dan Yahudi” bercerita bahwa pada saat penangkapannya, petugas keamanan berkata , “Dengar, jangan pura-pura naïf- saya telah melihat sepak terjangmu di masa lalu. Segala sesuatunya telah direkam, ditulis dan didokumentasikan.” Dia yakin penangkapannya terkait aksi protesnya atas legislasi Nakba.

Para mahasiswapun tidak tinggal diam. Sekitar 60 mahasiswa melakukan demonstrasi memprotes penangkapan, dengan dihadiri dewan gubernur dan pejabat kampus lainnya. Para mahasiswa memplester mulut mereka dan menaruh tanda, ”Departemen keamanan Menguasai Universitas” dan “Departemen Keamanan sama dengan Polisi Rahasia” (merespon insiden itu, juru bicara Universitas, Amir Rozenblit mengatakan bahwa para mahasiswa dilarang membagikan pamphlet di kampus. Namun dia juga mengklaim seorang penjaga keamanan ditahan).

Aroma ketidaksukaan selama perang Gaza juga tampak. Nitza Berkovitch, mahasiswa sosiologi mengatakan,”Saya kira media telah dimobilisasi. Ada dukungan menyeluruh atas perang.” Beberapa hari setelah pecah perang, akhir Desember, sekelompok mahasiswa Arab dan Yahudi melakukan demonstrasi menentang perang. Polisipun segera datang dan meminta mereka membubarkan diri. Merekapun setuju. Ketika mereka menggulung selebaran yang dibawa, beberapa demonstran ditangkap polisi, diseret ke mobil tahanan dan ditahan berjam-jam dengan tuduhan membuat kerusuhan. Ada pula demonstrasi yang lebih moderat pertengahan Januari. Mereka  menuntut perdamaian dan diakhiri kekerasan oleh kedua belah pihak, Namun lusinan polisi datang membubarkan kerumunan dan menahan beberapa orang. Salah satu mahasiswa BGU,Ran Tzoref dikenai tahanan rumah selama sebulan. 

Penindasan keji atas penduduk Palestina adalah praktek biasa di Israel. Namun insiden baru-baru ini menunjukkan menguatnya aksi represif atas para pemrotes Yahudi.  Ratusan warga Israel ditahan karena protes mereka atas agresi Gaza. Tzoref menuturkan,”Bagi saya sangat mengejutkan bahwa polisi huru hara datang menyerbu kampus dan menyerang kami. Ini tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ini seperti saya berada dibawah rejim diktator Amerika Selatan dan ada perintah pengadilan secara nasional bahwa orang tertentu harus ditahan. Ini adalah bentuk sederhana intimidasi.”

Agresi Gaza menjadi semakin buruk karena perilaku aparat yang represif karena dendam kesumat publik atas rakyat Palestina. Saat demonstrasi Januari, para pejalan kaki meneriaki para pemrotes sebagai pengkhianat dan berkata,”Yahudi seharusnya membunuh lebih banyak orang Arab.” Keadaannya menjadi cukup mengkhawatirkan.

Kini telah berkuasa pemerintahan sayap kanan yang tidak hanya bertekad menghindari negosiasi yang serius dengan Palestina namun juga secara aktif membangun pemukiman illegal, menyiapkan perang dengan Iran dan secara aktif pula mengobarkan paranoia publik atas rakyat Palestina (sebagai pengacau dan musuh dari dalam). Jika demikian,  klaim sebagai negara Yahudi dan sekaligus demokratis menjadi kontradiktif. Bagaimana sebuah negara yang memenjara 4 juta rakyat Palestina dibelakang tembok ghetto, memotong dan memblokade jalan serta memperlakukan 1,5 juta lainnya seperti warga kelas dua dapat disebut demokratis? Profesor geografi BGU, Oren Yiftachel menyebut Israel lebih tepat sebagai ethnocracy. Mendiang sosiologis Baruch Kimmerling menamainya "Herrenvolk democracy." Apapun namanya selama  represi semakin meningkat dan ruang bagi kebebasan berekspresi dibatasi maka gurauan lama tentang Prussia tepat untuk disematkan. Prussia adalah seorang tentara yang berpura-pura menjadi negara. Namun Prussia itu berada di wilayah Mediterania.


*Roane Carey, adalah manajer editor Nation magazine dan mengikuti fellowship di Chaim Herzog Center for Middle East Studies and Diplomacy, Universitas Ben-Gurion University, Beer-Sheva, Israel. Dia juga co-editor The Other Israel (New Press)

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget