*Ahmad Dzakirin
Kebangkrutan Yunani telah mencapai puncaknya. Kali ini Uni Eropa dan IMF harus mengucurkan dana talangan terbesarnya, 146 milyar dollar dalam tiga tahun mendatang untuk menyelamatkan Yunani dari krisis hutang. Namun problema fundamentalnya sendiri tidak teratasi, yakni maraknya praktek korupsi dan manipulasi pajak.
Muncul kekhawatiran bahwa krisis ekonomi di Yunani akan berdampak kepada negara-negara tetangga lainnya seperti Spanyol dan Portugal yang juga sedang berjibaku dengan masalah yang sama.
Di Yunani sendiri kemarahan masyarakat memuncak ketika pemerintah menaikkan pajak dan memotong anggaran publik. Langkah ini mau tak mau harus diambil demi mendapatkan kucuran dana dari IMF dan Eurozone. Namun banyak pengamat menilai bahwa Yunani lebih membutuhkan perubahan sosial yang fundamental, tidak hanya sekedar langkah taktis diatas untuk keluar dari krisis.
Krisis ekonomi Yunani mulai tersingkap akhir tahun lalu pasca terpilihnya George Papandreou sebagai PM. Hutang pemerintah telah mencapai 450 milyar dollar. Walhasil, pemerintah mengumumkan program pengetatan anggaran dengan memotong gaji dan pensiun, pajak dinaikkan serta pemotongan tabungan. Pegawai negeri dipotong 10 persen gaji mereka. Selain itu, pemerintah memberlakukan pensiun dini bagi pegawai yang berusia 40 tahun.
Kebijakan ini tidak pelak memicu kemarahan masyarakat Yunani. Puluhan ribu orang turun ke jalan menolak kebijakan tersebut. “Saya harus membayar lebih namun kita tidak tahu kemana uang itu pergi. Tidak ada uang untuk pendidikan, tidak ada uang untuk kesehatan maupun pensiun, kami siap berperang dengan aturan Uni Eropa dan pemerintah,” ungkap salah seorang demonstran. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah menghinggapi banyak orang.
Aksi protes berubah kekerasan. Sebagian pemrotes melakukan vandalisme. Tiga kurang tiga orang tewas karena aksi tersebut. Para investor menunggu perkembangan sedangkan para turis segera keluar dari Yunani.
Problem Yunani adalah karena terlampau banyaknya pegawai negeri. Yunani tidak kurang memiliki 1,25 juta pegawai negeri dari 11 juta penduduk yang ada. Namun birokrasi yang ada tidak efisien dan korup. Sebuah proses perijinan berlarut-larut dan membutuhkan dana tambahan tidak resmi, yang sering disebut “fakalali”. Disamping, penegakkan hukum yang tidak berjalan. Ekonomi gelap yang berlangsung mencakup tidak kurang 37 persen dari GDP atau antara 80 hingga 100 milyar dollar. Tidak pelak Transparency International menempatkan Yunani sebagai Negara terkorup di Zona Eropa. Korupsi terjadi di semua level.
Proyek mercusuar penyelenggaraan Olympiade 2004 dipersalahkan sebagai penyebab kebangkrutan. Pemerintah menghabiskan tidak kurang 12 juta Euro untuk pengadaan fasilitas olahraga yang prestisius. Kini, fasilitas itu terbengkalai. Faktor lainnya, arus uang yang mudah mengucur selama komunitas Eropa di era 80-an telah menciptakan kultur masyarakat Yunani yang suka bersenang-senang ketimbang bekerja keras. Banyak generasi Yunani yang terjebak dalam mentalitas ini.
Muncul kekhawatiran bahwa krisis ekonomi di Yunani akan berdampak kepada negara-negara tetangga lainnya seperti Spanyol dan Portugal yang juga sedang berjibaku dengan masalah yang sama.
Di Yunani sendiri kemarahan masyarakat memuncak ketika pemerintah menaikkan pajak dan memotong anggaran publik. Langkah ini mau tak mau harus diambil demi mendapatkan kucuran dana dari IMF dan Eurozone. Namun banyak pengamat menilai bahwa Yunani lebih membutuhkan perubahan sosial yang fundamental, tidak hanya sekedar langkah taktis diatas untuk keluar dari krisis.
Krisis ekonomi Yunani mulai tersingkap akhir tahun lalu pasca terpilihnya George Papandreou sebagai PM. Hutang pemerintah telah mencapai 450 milyar dollar. Walhasil, pemerintah mengumumkan program pengetatan anggaran dengan memotong gaji dan pensiun, pajak dinaikkan serta pemotongan tabungan. Pegawai negeri dipotong 10 persen gaji mereka. Selain itu, pemerintah memberlakukan pensiun dini bagi pegawai yang berusia 40 tahun.
Kebijakan ini tidak pelak memicu kemarahan masyarakat Yunani. Puluhan ribu orang turun ke jalan menolak kebijakan tersebut. “Saya harus membayar lebih namun kita tidak tahu kemana uang itu pergi. Tidak ada uang untuk pendidikan, tidak ada uang untuk kesehatan maupun pensiun, kami siap berperang dengan aturan Uni Eropa dan pemerintah,” ungkap salah seorang demonstran. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah menghinggapi banyak orang.
Aksi protes berubah kekerasan. Sebagian pemrotes melakukan vandalisme. Tiga kurang tiga orang tewas karena aksi tersebut. Para investor menunggu perkembangan sedangkan para turis segera keluar dari Yunani.
Problem Yunani adalah karena terlampau banyaknya pegawai negeri. Yunani tidak kurang memiliki 1,25 juta pegawai negeri dari 11 juta penduduk yang ada. Namun birokrasi yang ada tidak efisien dan korup. Sebuah proses perijinan berlarut-larut dan membutuhkan dana tambahan tidak resmi, yang sering disebut “fakalali”. Disamping, penegakkan hukum yang tidak berjalan. Ekonomi gelap yang berlangsung mencakup tidak kurang 37 persen dari GDP atau antara 80 hingga 100 milyar dollar. Tidak pelak Transparency International menempatkan Yunani sebagai Negara terkorup di Zona Eropa. Korupsi terjadi di semua level.
Proyek mercusuar penyelenggaraan Olympiade 2004 dipersalahkan sebagai penyebab kebangkrutan. Pemerintah menghabiskan tidak kurang 12 juta Euro untuk pengadaan fasilitas olahraga yang prestisius. Kini, fasilitas itu terbengkalai. Faktor lainnya, arus uang yang mudah mengucur selama komunitas Eropa di era 80-an telah menciptakan kultur masyarakat Yunani yang suka bersenang-senang ketimbang bekerja keras. Banyak generasi Yunani yang terjebak dalam mentalitas ini.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: