Updates 15/6/11: Revolusi Dunia Islam...!!: Dear valued readers and friends, thank you very much for your comments and supports that please and energize me to share knowledge, understanding, virtual friendship and the avalaibleity for updating...:).Many thanks, anyway.
Diberdayakan oleh Blogger.
, Strategic Studies

STRATEGY THROUGH EROSION BETWEEN THEORY AND PRACTICE (The Comparative Study of Insurgency’s Indirect Strategy)

“Too much to defend; too small, ubiquitous, and agile an enemy to come to grips with. If the war continues long enough, the dog succumbs to exhaustion and anemia without ever having found anything on which to close its jaws or to rake with its claws.” (The War of the Flea)

, Strategic Studies

Engaging China: ASEAN Concerted Diplomacy in ARF (ASEAN Regional Forum)

The collapse of Soviet bloc affected the erosion of long standing strategic rationale behind the major US military deployment in East Asia. In addition to the US economic difficulties that was reflected in its domestic economic constraints on military expenditure and the Philippines refusal to extend the leases of the US’s military bases in Philippines. Philippines demanded a complete US military withdrawal by November 1992. It irrevocably created a “window of opportunity” for major powers such as China, Japan and India to be more assertive and independent after the US withdrawal.

, Indonesia Raya

Mengelola Perbatasan Indonesia dan Malaysia

Indonesia dan Malaysia adalah sepasang negeri jiran yang sebelum diperkenalkannya konsep negara modern (pasca perjanjian Westphalia 1648) tak mengenal batas-batas fisik maupun batas-batas kultural. Era kolonialisme Eropa Barat di kedua negara dilanjutkan dengan lahirnya negara modern Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Malaysia pada 31 Agustus 1957 berkonsekuensi terciptanya garis demarkasi antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan. Perbatasan dalam artian fisik kemudian tercipta di sepanjang pulau Kalimantan sejauh 2004 kilometer (yang merupakan perbatasan fisik terpanjang Indonesia dengan negara lain) dan perbatasan laut di sepanjang Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi.

, Indonesia Raya

Prosperous and Justice Party (PKS) : An Overview of Their Competitiveness and Strategies after 2004 Elections

This paper provides an analysis on the PKS Competitiveness, their strategies and its interaction with the Government of Indonesia (GOI) using Porter’s Diamond and J Curve frameworks with effort to smooth and to sustain their policy reform process. In the first section, it will analyze the background of PKS movement and analyze their competitiveness and their strategies movement in Indonesia political world. The second part will examine the PKS interaction and their impacts to the GOI. The third section will give recommendation for the PKS activities in the future to overcome and to sustain the PKS movement and conclude their role in the Indonesian political development.

, Strategic Studies

Pemanasan Global dan Potensi Ancaman Bagi Indonesia

Apakah perubahan iklim global (climate change) menyebabkan disintegrasi pada suatu negara dan memicu konflik antar negara? Para pakar non traditional security sejatinya bersepakat bahwa dampak perubahan iklim berpotensi besar melahirkan konflik domestik dan instabilitas keamanan baik dalam lingkup regional dan global. Namun para pakar ini tidak dapat memprediksikan apakah perubahan yang berimplikasi konflik itu terjadi secara gradual. Atau sebaliknya pelbagai faktor yang berkelindan (interacting factors) seperti deforestasi (penggundulan hutan) dan minimnya energi alternatif akan menjadikan ancaman itu cenderung dekat.

Apa yang Terjadi didalam Fatah?


*Esam Al-Amin 

“Dia adalah orang kita”, kata George W. Bush saat membicarakan kepala keamanan Palestina Muhammad Dahlan, 4 Juni 2003.

Pemerintah AS telah ikut campur dalam urusan internal Palestina setidaknya sejak 2003. Usahanya adalah untuk mentransformasi gerakan nasional pembebasan Palestina  menjadi pemerintahan yang tunduk dengan tuntutan keamanan dan politik Israel.  

Taktik yang dilakukan AS mencakup politik, diplomatik dan militer. Seiring dengan kebangkitan Hamas pasca pemilu legislatif 2006, strategi AS semakin dikokohkan sebagai respon hasil pemilu yang tidak dikehendaki. keinginan untuk memberikan jalan kembali kepada kelompok pro-Amerika dalam struktur politik Palestina dimulai dalam konperensi nasional Fatah pekan lalu.

Gerakan Pembebasan Nasional Palestina yang berusia 44 tahun mengadakan konperensi nasional keenam. Fatah dalam sejarahnya dianggap faksi Palestina terbesar namun persepsi ini telah berubah demi melihat hasil pemilu Januari 2006 yang dimenangkan Hamas. Setelah melakukan konperensi selama 8 hari, Fatah mengumumkan hasil pemilihan ketua. Sebagaimana biasanya, media internasional khususnya media Barat menggambarkan pemilihan berlangsung “segar’ dan ‘membawa arah baru” dalam organisasi. Namun apa yang sebenarnya terjadi dalam pemilihan itu?

Struktur internal Fatah tidak sama dengan partai politik atau gerakan perlawanan lainnya. Fatah bukanlah organisasi hirarkis. Loyalitas  anggotanya lebih berdasarkan patronase dan faksionalitas yang tercermin dalam 23 anggota komite pusat.

Komite Pusat secara teknis dianggap merefleksikan sistem kepemimpinan kolektif dengan program politiknya. Bahkan pendirinya, almarhum Yasser Arafat yang telah memimpin organisasi ini sejak berdirinya di 1965 sampai meninggalnya di 2004 tidak memiliki jabatan resmi dalam keanggotaannya baik di komite maupun komandan sayap militer. Dalam pandangan banyak warga Palestina, kepemimpinan dalam Fatah lebih merupakan simbolisasi sistem kronisme, korupsi, pengkhianatan dan kegagalan politik khususnya sejak perjanjian Oslo.

Meskipun piagam internalnya mengatur diadakannya konperensi nasional setiap 4 tahun sekali, namun pertanyaan mendasarnya adalah mengapa Fatah membutuhkan 2 dekade untuk mengadakannya lagi? Apakah kepemimpinan baru Fatah merefleksikan aspirasi rakyat Palestina dan memberikan pendekatan baru yang segar dalam proses politiknya? Dan siapakah kekuatan dibalik terpilihnya beberapa figur yang terpilih?

Komite Sentral Fatah yang dipimpin Arafat membuat keputusan strategis di 1988 untuk menegosiasikan penyelesaian politik dengan Israel dan menerima pemerintah AS sebagai penengah utama. Selama dua dekade, khususnya pasca perjanjian Oslo, isu Palestina secara perlahan hilang dari agenda internasional, menjadi semata hubungan eksklusif antara AS, Israel dan kepemimpinan Palestina baik itu berwujud PLO ataupun Otoritas Palestina.

Analis Timur Tengah yang netral semacam Robert Malley, Direktur Program Timur di Internasional Crisis Group (ICG) dan mantan staff Badan Keamanan Nasional AS selama pemerintahan Clinton mengamati bahwa kebanyakan para perunding Amerika baik dalam pemerintahan Demokrat maupun Republik telah mengadopsi cara pandang Israel dan lebih menekan Palestina ketimbang Israel. 

Selama periode pertama pemerintahan Bush, Arafat diisolasi. Washington mempromosikan mereka dalam kepemimpinan Palestina seperti Mahmoud Abbas menjadi perdana menteri di 2003 dan  Muhammad Dahlan menjadi kepala keamanan. Keduanya tunduk kepada kemauan Amerika. Arafat dipaksa menyetujuinya. Di 2005, Bush mendeklarasikan agenda demokrasi dan kebebasan. Dia menuntut diadakan pemilu di wilayah Palestina dan berharap dengan kemenangan Fatah akan mempermudah bagi dirinya mengiplementasikan visinya. 

Namun, pemerintah AS segera meninggalkan agenda demokrasinya seiring kemenangan telak Hamas dalam pemilu, Januari 2006. Menlu Condolezza Rice menyatakan keterkejutannya melihat hasil pemilu. “Tak seorangpun menduga”, keluhnya. Seorang pejabat Departemen Pertahanan bertutur kepada David Rose dari Vanity Fair in 2008, “Mereka saling menyalahksan satu sama lain.”

Sejak itu, pemerintahan Amerika menjalankan strategi yang berbeda dan tumpang tindih untuk membalikkan hasil. Pelbagai upaya ditempuh Deplu, Gedung Putih dan Dephan namun miskin kordinasi. 

Sepanjang 2006 dan paro pertama 2007, Deplu menggunakan sumber diplomatik dan otot politiknya untuk menggulingkan pemerintahan Hamas yang terpilih secara demokratis. Dalam laporannya April 2008, Vanity Fair mengungkapkan dokumen Amerika yang secara tidak sengaja tertinggal di Gedung Otoritas Palestina di  Ramallah. Memo itu berisi tuntutan Rice kepada Abbas untuk membatalkan pemerintahan persatuan nasional yang melibatkan Hamas. 

Sebagaimana dibeberkan Vanity Fair, neocon dan deputi direktur NSC, Elliot Abrams menyusun rencana kudeta atas Hamas di Gaza dengan bantuan mantan kepala keamanan Gaza, Muhammad Dahlan. Rencana ini melibatkan Israel, beberapa negara Arab dengan menyediakan dana lebih 30 juta dollar, pelatihan 500 personil keamanan, kampanye destabilisasi Gaza serta program penyiksaan atas para anggota Hamas dan para Islamis lainnya.

Dahlan mengakui kepada David Rose bahwa dia mendorong Amerika untuk melakukan konfrontasi dengan Hamas. “Jika saya mengkonfrontasi mereka, saya butuh dana besar. Kita tidak bisa melakukan sendiri.”

Koran Israel Haaretz melaporkan 7 Juni 2007 bahwa pemerintah Amerika meminta Israel untuk memberikan akses pengapalan senjata dari Mesir, yang mencakup lusinan mobil pengakut pasukan, ratusan roket, ribuan granat tangan dan jutaan amunisi. Rose menjelaskan bahwa rencana Abram menekankan pentingnya mendukung Fatah untuk menangkal Hamas. 

Menurut pejabat senior, hasil yang diinginkan adalah memberi Abbas kemampuan untuk mengambil kebijakan politik strategis (memenuhi sayarat Israel untuk penyelesaian politik) dan memecat kabinet yang dipimpin Hamas, serta mendirikan kabinet darurat.

Namun penasehat Timur Tengah Dick Cheney, David Wurmser, mengakui gagalnya rencana ini. “Kelihatan bagiku bahwa apa yang terjadi bukannya kudeta oleh Hamas namun upaya kudeta oleh Fatah yang gagal karena didahului Hamas sebelum rencana itu terlaksana.”

Usaha ketiga diorganisir oleh Pentagon dan dipimpin oleh Letjen Keith Dayton. Dalam sebuah pidato didepan lembaga thing tank pro Israel, Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat (WINEP) mei 2009, dia menjelaskan bahwa Kantor Kordinator Keamanan AS yang dia pimpin sejak Desember berupaya membantu rakyat Palestina mereformasi aparat keamanannya. Namun berdasarkan catatan antara Dayton dan kepala keamanan Palestina di Ramallah awal 2007, tujuan utama misi dinyatakan oleh Dayton. “Kami perlu membantu pasukan anda untuk menghabiskan Hamas.”

Sejak 2007, Konggres memberikan Dayton 161 juta dollar untuk melaksanakan rencananya. Selain itu, tahun ini Konggres menganggarkan tambahan dana 209 juta dollar untuk Dayton di tahun fiskal 2009-2010 demi mempercepat program tersebut. Setahun lalu, lebih dari 1000 anggota Hamas dan Jihad ditahan tanpa pengadilan di Tepi Barat. Mereka disiksa dan dibunuh dalam interogasi yang dilakukan aparat keamanan yang dilatih Amerika. Amnesty internasional dan beberapa organisasi HAM lainnya mengecam aksi brutal ini dan meminta penghentian segera pelanggaran HAM atas tahanan di penjara Otoritas Palestina. 

Dalam pidatonya di WINEP, Dayton membenarkan aksi pembasmian ini.”Saya tidak tahu beberapa banyak diantara anda yang tahu namun sejak setahun lalu, pemerintah Palestina melakukan serangkaian apa yang mereka sebut sebagai operasi keamanan di tepi Barat, yang mengejutkan bekerjasama dengan Tentara Israel.”

Dia lebih jauh mengakui bahwa selama 22 hari perang Gaza musim semi lalu, pasukan keamanan Palestina yang dilatih AS mencegah rakyat Palestina melakukan demonstrasi menentang tentara Israel, yang pada saat sama melakukan pengurangan kehadiran pasukannya di Tepi Barat  untuk dikirim ke Gaza. Dayton menambahkan,”Kenyataannya, sebagian pasukan Israel berangkat ke Gaza dari Tepi Barat dan komandan militer Israel tidak berada di wilayah selama 8 hari.”

Setelah kudeta gagal dan serangan militer yang brutal gagal melemahkan Hamas dari Gaza, strategi Israel dan AS semakin diintesifkan untuk menekan Hamas melalui blockade ekonomi., penahanan besar-besaran di Tepi Barat dan isolasi politik secara internasional. Sementara itu menurut beberapa juru bicara Hamas, termasuk PM Ismail Haniyya di Gaza dan kepala biro politik Hamas di Damaskus, Khaled Meshal, hambatan besar bagi rekonsiliasi nasional dengan Fatah adalah penangkapan besar-besaran anggota Hamas dan adanya kerjasama Otoritas Palestina dengan pasukan pendudukan yang diatur oleh Dayton. 

Fase berikutnya adalah menemukan kembali eksistensi Fatah dengan menghadirkannya sebagai alternatif politik yang pas menggantikan Hamas dan gerakan perlawanan lainnya melalui perbaikan kondisi kehidupan di Tepi Barat. Namun yang lebih penting, rencana membentuk Fatah baru yang dianggap sebagai partner terpercaya yang bersedia mengakomodasi persyaratan Israel dalam penyelesaian politik. Konperensi keenam Fatah dan disusul dengan pemilihan ketua diselenggarakan untuk membuang citra Fatah sebagai lembaga yang korup dan disfungsional.

Selama setahun, Komite Sentral, lembaga tertingginya tidak bersepakat dalam banyak isu besar, termasuk dimana konperensi diselengarakan (keputusan akhirnya diselenggarakan di wilayah pendudukan Palestina yang berarti bahwa Israel memiliki hak veto dalam memberikan ijin delegasi yang berasal dari luar negeri). Mereka juga berbeda pendapat tentang siapa delegasi yang menghadiri konperensi karena akan sangat mempengaruhi komposisi kepemimpinan baru, program politik dan peran perlawanan bersenjata terhadap penjajahan. Abbas dan kalangan terdekatnya memveto keputusan komite dan memutuskan menyelenggarakan konperensi di Bethlehem demikian pula memilih peserta yang akan menghadiri konperensi demi memastikan hasil pemilihannya. 

Secara historis, delegasi dalam konperensi nasional Fatah dipilih Komite Sentral namun setidaknya 50 persennya berasal dari aparat militer. Namun sejak sayap militernya dibekukan atau kalau tidak diburu Israel, maka sejumlah besar delegasi dipilih dari personil keamanan. Faktanya kemudian adalah bahwa hasil pemilihan akan terdistribusikan kepada para kepala keamanan dan pendukungnya. 

Jumlah asli delegasi sekitar 700-an, namun kemudian meningkat 1250 dan akhirnya membengkak menjadi 2355. kurang dari 10 persen biasanya dipilih secara tidak langsung karena status jabatannya, sementara mayoritasnya dipilih oleh kelompok kecil di Ramallah yang dipimpin Abbas dan broker kekuasaan lainnya seperti Dahlan dan Jibreel Rujoub yang biasa menggantung foto mantan direktur CIA George Tenet disamping gambar Arafat. 

Jumlah anggota Komite Pusat juga ditingkatkan dari 21 menjadi 23. 19 anggota dipilih langsung oleh delegasi. Abbas memilih empat anggota lainnya kemudian, namun dia sendiri dipilih secara aklamasi demi menghindari kemungkinan jika dia tidak terpilih. 18 anggota yang dipilih di akhir konperensi terdiri 4 dari “kalangan tua” yang dipandang dekat dengan Abbas dan 14 anggota baru lainnya, tiga diantaranya adalah mantan kepala keamanan yang dekat dengan CIA. Mereka ini adalah Dahlan, Rujoub dan Tawfiq Tirawi, mantan kepala intelejen yang sekarang memimpin akademi pelatihan keamanan di Jericho dibawah supervisi Dayton.

Dari awal, konperensi ini dipenuhi dengan delegasi dari Tepi Barat. Tidak seperti konperensi sebelumnya, rakyat Palestina dalam diaspora hampir tidak diwakili karena Israel hanya mengijinkan beberapa diantaranya yang masuk. Sementara populasi Gaza yang sama besarnya dengan Tepi Barat, kurang dari 400 orang yang dipilih sebagai delegasi sementara delegasi Tepi Barat mencapai tiga kali lipat. 

Namun kebanyakan delegasi Gaza tidak dapat menghadiri konperensi karena Hamas melarang mereka meninggalkan Gaza. Hamas menuntut Otoritas Palestina membebaskan ratusan anggota Hamas di Tepi Barat. Jadi selain Dahlan yang pernah tinggal di Gaza, tidak ada satupun wakil dari Gaza yang terpilih dalam Komite. Akibatnya, para pemimpin Fatah di Gaza termasuk mantan anggota Komite Sentral Zakariyya al-Agha protes dan mengundurkan diri secara massal sehari setelah Konperensi. 

Hal yang sama terjadi, anggota Fatah luar negeri juga tidak puas. Hanya dua orang saja yang dipilih dalam Komite Sentral padahal lebih dari dua pertiga (sekitar 8 juta) tinggal diluar wilayah Palestina dan banyak diantaranya tinggal di kamp pengungsian yang tidak layak. Disisi lain, mayoritas besar anggota  baru yang terpilih berasal dari Tepi Barat atau tinggal di Ramallah. Mereka adalah sekutu dekat Abbas yang mendukung strategi Amerika. 

Sementara mayoritas para pemimpin senior yang menentang program politik Amerika seperti Sekjen Komite Pusat Farouk Kaddoumi atau Hani al-Hassan tidak dapat menghadiri konperensi apalagi maju sebagai kandidat. Kaddoumi mengecam konperensi itu, mempertanyakan legitimasinya. Dia  lebih jauh menuduh Abbas dan Dahlan berkomplot dengan Israel membunuh Yasser Arafat. 

Mantan anggota komite lainnya yang maju sebagai kandidat menyatakan ketidakpuasannya. Mantan perdana menteri dan perunding Ahmad Qurai mempertanyakan kredibilitas prosedur pemilihan. Ketika kepala staff Abbas, Tayeb Abdel Rahim kalah, dia menuntut adanya penghitungan ulang. Akhirnya dia dinyatakan lolos. Banyak delegasi khususnya kandidat perempuan juga tidak lolos. Mereka semuanya mengkritik adanya praktek kroniisme yang telanjang. Meski demikian, beberapa kandidat popular dan dipandang ‘bersih’ seperti Marwan al Barghouti yang kini meringkuk di penjara Israel dan Mahmoud Al-Aloul, mantan walikota Nablus terpilih. 

Pada awalnya banyak yang berharap konperensi ini menjadi awal rekonsiliasi nasional dan berdirinya pemerintahan persatuan. Alih-alih, konperensi ini malah memperparah perpecahan di pihak Fatah. Para pemimpin Gaza dan Abu Alaa mengancam mendirikan faksi baru, ‘Kebangkitan Fatah’.

Langkah berikutnya strategi kelompok pro Amerika adalah mengadakan pemilihan presiden di wilayah pendudukan, Januari mendatang. Mereka berharap langkah ini akan mengggairahkan kekuatan Fatah sebagai alternatif bagi Hamas dan gerakan perlawanan lainnya. Jonathan Steele dari Guardian membeberkan dalam edisi 22 Juni 2007 tentang ‘rencana kudeta kasar Amerika, berikut strateginya. Dia juga mengungkapkan pembicaraan para pejabat Amerika dengan beberapa rejim Arab. Diantara pembicaraan itu adalah upaya mempertahankan eksistensi Presiden Abbas dan Fatah sebagai ‘center of gravity’ bagi Palestina, menghindari segala upaya mengakomodasi Hamas, merusak status politik Hamas dan ‘menyerukan penyelenggaraan pemilu dini’.

Dalam ungkapan Jenderal Dayton, “para personil Palestina yang dilatih oleh AS tidak dilatih untuk memerangi Israel namun lebih ditujukan untuk menegakkan hukum dan keamanan”. Tujuan utama pembentukan batalion keamanan ini adalah untuk menghentikan segala bentuk perlawanan sekalipun dengan cara damai. 

Banyak pertanyaan-pertanyaan  yang hingga kini belum terjawab. Apa program politik Fatah untuk merespon kengototan dan pra kondisi yang dipersyaratkan Israel? Apa yang akan dilakukan Fatah dalam rekonsiliasi nasional dengan pelbagai faksi lainnya dan pendirian pemerintahan persatuan? Apa peran perlawanan atas pendudukan, pengepungan Gaza dan yang lebih penting lagi, kolaborasi terus-menerus yang dilakukan Otoritas Palestina dengan aparat keamanan Israel melawan warganya sendiri?

Pertanyaan itu terus-menerus muncul sementara pada saat bersamaan pendudukan Israel dan kebijakan yang brutal, perluasan pemukiman, pembangunan tembok pemisah, tawanan atas 11 ribu rakyat Palestina, depopulasi warga Palestina yang menghuni Yerusalem Timur dan penolakan hak kembali pengungsi Palestina terus saja berlanjut. 

Itu semua semata AS ingin pemimpin Palestina memberikan jawaban yang memuaskan bagi Israel. Seperti yang dikatakan pejabat Menlu AS kepada Vanity Fair,”Kami peduli tentang hasil dan kami dukung apapun yang dilakukan anak ******yang kita usung. Dahlan adalah anak*****yang kebetulan kita kenal dengan baik.”

Politik dalam Pandangan Islam


*Ahmad Dzakirin
Untuk memperkaya dan sekaligus membandingkan ruang lingkup definisi politik dalam pandangan Barat dengan Islam maka patut kiranya kita melihat bagaimana pengertian politik baik secara terminologis maupun definitif dalam Islam. Dalam pelbagai kitab Islam klasik dan kontemporer banyak diungkap pandangan para ulama dan cendekiwan Islam tentang hal ikhwal politik Islam atau biasa disebut dengan siyasah syar’iyyah.  

Besarnya perhatian umat Islam akan isu ini menurut Bakhtiar Effendi -cendekiwan Muslim- adalah wajar dan bukan hal yang baru karena Islam, umat Islam ataupun kawasan Islam tidak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan politik.
Secara terminologis, siyasah merupakan mashdar dari akar kata sâsa – yasûsu - siyasatan. Dalam kalimat “sasa addawaba yasusuha siyasatan” memiliki arti “qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha” yakni mengurusi, melatih, dan mendidiknya. Bila dikatakan “sasa al amra” maka berarti “dabbarahu” yakni mengurusi atau mengatur perkara. Jadi makna siyasah jika dikaitkan dengan masyarakat maka dapat diartikan sebagai pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim) dan pendidikan (ta’dib).
Menukil keterangan Ibnu Mundzir dalam Lisanul Arab, assus yang berasal dari kosa kata sawasa memiliki arti kepemimpinan. Sasuhum susan berarti mereka mengangkat pemimpin dan jika dikatakan sawwasuhu wa asasuhu wa sasal amra siyasatan maka berarti seseorang yang mengatur urusan politik. Adapun orang yang mengatur dan memimpin suatu kaum maka disebut sasah was sawwas.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan istilah siyasah dalam sabdanya:
            “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist ini menjelaskan makna siyasah sebagai upaya mengurusi urusan Bani Israil yang dilakukan para nabi dan adapun setelah sepeninggal Rasulullah SAW, para khalifah akan menggantikan tugas Nabi dalam mengurusi urusan kaum Muslimin.
Jadi ruang lingkup pengertian as-siyasah adalah kewajiban menjalankan sesuatu yang dapat mendatangkan kemaslahatan dan adapun as-sais adalah pemimpin yang mengatur dan menangani urusan rakyat serta mampu mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya.
As-siyasah jika dikaitkan dengan urusan kaum Muslimin atau sering disebut dengan as- siyasah as syar’iyah dapat diartikan sebagai segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum Muslimin, dengan jalan menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk melakukannya, kaum Muslimin hendaknya mengetahui apa yang dilakukan pemimpin, mengingkari keburukan yang dilakukan pemimpin atas rakyatnya, menasehati pemimpin jika melakukan kedurhakaan kepada rakyat dan memeranginya jika melakukan kekufuran yang nyata (kufrun bawahan).
Ruang lingkup peran siyasah ini sejalan dengan pengertian hadist:
“Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin maka dia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
“Jihad yang utama adalah kalimat haq didepan penguasa jahat.” (HR. Ahmad)

Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan Ulama
Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah, hal 168 menjelaskan:
“Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda: ‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud). Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.”                     
Lebih jauh Ibnu Taimiyyah –mengutip Khalid Ibrahim Jindan- berpendapat bahwa kedudukan agama dan negara ”saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.”
Pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim mendefinisikan: “Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”.
Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah” menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai:
“Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).”
Asyahid Imam Hasan Al Banna menjelaskan politik adalah,
“Hal memikirkan persoalan internal (yang mencakup diantaranya: mengurusi persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, memerinci hak dan kewajibannya, melakukan pengawasan terhadap penguasa) dan eksternal umat (yang meliputi diantaranya: memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan bangsanya mencapai tujuan yang diidamkan dan membebaskan bangsanya dari penindasan dan intervensi pihak lain).”
            Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Daulah mendefinisikan Siyasah Syar’iyah:
            “Fiqh Islami yang mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintahan), atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan kekuasaan dengan masyarakat yang dalam terminologi modern disebut sistem ketatanegaraan, sistem keuangan, sistem pemerintahan dan sistem hubungan internasional.
            Sedangkan definisi Siyasah Syar’iyah menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah:
            “Pengaturan urusan pemerintahan kaum Muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat) melalui batasan-batasan yang ditetapkan syara’ dan prinsip-prinsip umum Syariah (maqosidhus syari’ah) –kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan pendapat para imam mujtahij”. (Asy Siyasah Asyar’iyyah, hal 12-127) 
Definisi dan pembahasan ruang lingkup politik Islam (as-siyasah syar’iyyah) dalam pandangan para ulama dan cendekiawan Islam setidaknya mencakup tiga isu utama, yakni:
1.   Paradigma dan konsep politik dalam Islam, yang secara garis besar mencakup kewajiban mewujudkan kepemimpinan Islami (khalifah) dan kewajiban menjalankan Syariah Islam (Hukum Islam).
2.   Regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat oleh pemimpin atau imam dalam rangka menangkal dan membasmi kerusakan serta memecahkan masalah-masalah yang bersifat spesifik, yang masuk dalam pembahasan fiqh siyasah.
3.  Partisipasi aktif setiap Muslim dalam aktivitas politik baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan.
Adapun dalam ruang lingkup regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat pemimpin atau imam, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi tiga aspek pembahasan (fiqh siyasah):
1.   Peraturan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan dalam mewujudkan kemaslahatan umat,
2.   Pengaturan dan pengorganisasian dalam mewujudkan kemaslahatan,
3.  Pengaturan hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.

Mengelola Perbatasan Indonesia dan Malaysia

*Heru Susetyo


A. PENDAHULUAN

Indonesia dan Malaysia adalah sepasang negeri jiran yang sebelum diperkenalkannya konsep negara modern (pasca perjanjian Westphalia 1648) tak mengenal batas-batas fisik maupun batas-batas kultural. Era kolonialisme Eropa Barat di kedua negara dilanjutkan dengan lahirnya negara modern Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Malaysia pada 31 Agustus 1957 berkonsekuensi terciptanya garis demarkasi antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan. Perbatasan dalam artian fisik kemudian tercipta di sepanjang pulau Kalimantan sejauh 2004 kilometer (yang merupakan perbatasan fisik terpanjang Indonesia dengan negara lain) dan perbatasan laut di sepanjang Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi.  

Namun, berbeda dengan batas fisik, batas kultural antara Indonesia dan Malaysia tak pernah jelas. Dan tidak hanya dengan Malaysia, dengan Brunei Darussalam, Thailand Selatan dan Philippina Selatan-pun bangsa Indonesia memiliki kesamaan kultural karena berasal dari rumpun etnolinguistik yang sama yaitu Austronesia (Malayo Polynesia). Sehingga memiliki akar bahasa yang nyaris sama, dan pengalaman sejarah yang hampir sama, yaitu sempat berada di bawah kesultanan-kesultanan Islam sebelum mengalami penjajahan Eropa Barat (terkecuali untuk Thailand Selatan). Tak heran beberapa kesenian khas Indonesia seperti wayang ataupun seni batik mudah juga ditemukan di Malaysia maupun Thailand Selatan dan Brunei Darussalam.  

Barangkali masalah perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia tak mengemuka kalau saja belakangan tak terjadi sengketa pulau Sipadan dan Ligitan (yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002) dan blok laut Ambalat di Laut Sulawesi. Juga, dengan terjadinya beberapa persoalan krusial seperti buruh migran tak terdokumentasi (undocumented migrant workers), pembalakan hutan (illegal logging), penyelundupan (smuggling) dan human trafficking, ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang mengusik kestabilan di wilayah perbatasan. 

Maka, permasalahan perbatasan kini kian kompleks. Salah satu permasalahan yang kini menjadi aktual dan menarik dikaji adalah bagaimana mengelola masalah perbatasan Indonesia-Malaysia, dan pendekatan keamanan seperti apa yang harus digunakan demi menghadapi masalah di perbatasan yang begitu kompleks? 

B. PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA 

Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Pada awalnya perbatasan sebuah negara atau state’s border dibentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan dengan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. 

Riwanto Tirtosudarmo, mengutip Ricklefs (1981), menyebutkan bahwa perbatasan dari negara yang kini bernama Indonesia adalah dibangun oleh kekuatan militer kolonial (Belanda) dengan mengorbankan nyawa manusia, uang, perusakan lingkungan, perenggangan ikatan sosial dan perendahan harkat dan kebebasan manusia. 

O.J. Martinez sebagaimana dikutip Riwanto Tirtosudarmo mengkatagorikan ada empat tipe perbatasan :
Alienated borderland : suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktifitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang, konflik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, permusuhan agama, perbedaan kebudayaan dan persaingan etnik.
Coexistent borderland; suatu wilayah perbatasan dimana konflik lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang terselesaikan misalnya yang berkaitan dengan masalah kepemilikan sumberdaya strategis di perbatasan.
Interdependent borderland; suatu wilayah perbatasan yang di kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan internasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain memiliki tenaga kerja yang murah.
Integrated borderland; suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada kedua negara dan keduanya tergabung dalam sebuah pesekutuan yang erat.

Mengacu pada tipologi Martinez di atas, Riwanto Tirtosudarmo mengkatagorikan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia termasuk diantara tipe kedua dan ketiga yaitu Coexistent dan Interdependent borderland. Panjang garis perbatasan yang dimiliki Indonesia seperti yang terbentang dari Kalimantan Utara-Malaysia adalah sejauh 2004 kilometer, kemudian di Nusa Tenggara Timur – Timor Leste sejauh 240 kilometer, dan di Papua – Papua New Guinea sepanjang 760 kilometer. 

C. PENDEKATAN KEAMANAN NON TRADISIONAL 

Pasca perang dingin (cold war), konsep tentang keamanan (security) telah banyak mengalami perkembangan. Mely Caballero-Anthony menyebutkan minimal ada tiga pandangan tentang keamanan. Pandangan pertama adalah yang beranggapan bahwa ruang lingkup keamanan adalah lebih luas daripada semata-mata keamanan militer (military security). Pandangan kedua adalah menentang perluasan ruang lingkup daripada keamanan dan lebih cenderung konsisten dengan status quo. Pandangan ketiga tidak saja memperluas cakupan bahwa keamanan adalah lebih luas dari semata-mata ancaman militer dan ancaman negara, namun juga berusaha untuk memperlancar proses pencapaian emansipasi manusia (human emancipation). 

Pandangan yang beranggapan bahwa ruang lingkup keamanan adalah lebih luas dari semata-mata keamanan militer sering disebut sebagai paradigma keamanan non tradisional. Pihak lain menyebutnya paradigma keamanan alternatif (alternative security). 

Dalam konsepsi klasik ataupun tradisional, keamanan lebih diartikan sebagai usaha untuk menjaga keutuhan teritorial negara dari ancaman yang muncul dari luar. Konflik antar negara khususnya dalam upaya memperluas imperium daerah jajahan membawa definisi security hanya ditujukan kepada bagaimana negara memperkuat diri dalam upaya menghadapi ancaman militer. Disini negara (state) menjadi subyek dan obyek dari upaya mengejar kepentingan keamanan.  

Pandangan kelompok ini menilai bahwa semua fenomena politik dan hubungan internasional adalah fenomena tentang negara. Dalam alam pemikiran tradisional ini negara menjadi inti dalam upaya menjaga keamanan negara. Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi, penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang dalam melihat kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi, maupun ancaman ekologis. Permasalahan dan ancaman tersebut kemudian digolongkan menjadi bagian dari isu-isu keamanan non tradisional. 

Pemikiran yang kurang lebih sama dikembangkan oleh pendekatan critical security studies (studi keamanan kritis). Pendekatan ini menolak asumsi bahwakeamanan dicapai melalui akumulasi kekuatan. Sebaliknya, ia beranggapan bahwa pondasi dari keamanan adalah keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Pencapaian kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial, melalui penyediaan pendidikan, pengurangan kemiskinan, kebebasan dari tekanan politik, akan membuat individu maupun kelompok mendapatkan keamanannya. Maka, bagi Critical Security Studies, keamanan hadir ketika masyarakat terbebaskan dari kemiskinan (bebas berkeinginan/ freedom from want) dan bebas dari ketakutan (freedom from fear). Bukan dengan cara memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang cenderung membatasi kebebasan masyarakat. 

Beberapa cabang dari pendekatan keamanan non tradisional antara lain konstruktivisme (constructivism), sekuritisasi (securitization) dan keamanan manusia (human security).

D. MENGELOLA PERBATASAN INDONESIA– MALAYSIA DENGAN PENDEKATAN KEAMANAN NON TRADISIONAL 

Masalah perbatasan Indonesia- Malaysia dapat dibedakan antara batas fisik yang tersaji dalam batas darat, batas laut, maupun batas udara. Batas darat dapat ditandai dengan patok-patok tapal batas, penempatan petugas penjaga perbatasan, maupun kantor imigrasi. Sebaliknya batas laut dan batas udara lebih berupa garis-garis imajiner yang disepakati bersama melalui perjanjian bilateral. Kendati sebagian besar masalah perbatasan terletak pada batas darat, namun bukan berarti batas laut tidak menjadi masalah. Sengketa kepemilikan Blok Ambalat pada tahun 2005 – 2006 membuktikan bahwa kejelasan batas laut menjadi amat signifikan. Di –legal- kannya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada tahun 2002 oleh International Court of Justice The Hague (ICJ) membawa akibat klaim baru terhadap blok Ambalat yang disinyalir kaya potensi minyak bumi oleh Malaysia. Indonesia bersikukuh pada posisi sebagai negara kepulauan yang menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) memiliki klaim lebih sah terhadap blok laut Ambalat. 

Persoalan lain adalah keamanan di perbatasan laut Selat Malaka dan Singapura. Akhir-akhir ini di sepanjang Selat Malaka-Singapura (SMS) sering terjadi perompakan dilaut (sea robbery) sehingga issue tersebut oleh negara-negara pemakai selat telah bergeser menjadi issue terorisme yang mengarah kepada internasionalisasi selat tersebut. Hal ini terlihat dengan dilakukannya berbagai inisiatif pengamanan oleh negara pemakai selat yang diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) seperti Proliferation Security Initiative (PSI) Container Security Initiative (CSI) dan Regional Security Initiative (RSI). Malahan AS telah berinisiatif pula untuk mengirim ”misi keamanan” dengan menggelar tentaranya di SMS. Padahal berdasarkan konvensi hukum laut 1982 (UNCLOS), tanggungjawab pengamanan utama Selat Malaka terletak pada negara-negara tepinya (Indonesia, Malaysia, dan Singapura). 

Masalah perbatasan laut lain yang amat signifikan adalah maraknya penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal nelayan asing. Saat ini banyak nelayan asing dari Thailand, China, dan Philippina yang menangkap ikan secara illegal ke Laut Banda dan Laut Arafura melalui Selat Malaka, Samudera Indonesia maupun Laut Sulawesi. Kerugian negara di laut Arafura saja karena aktivitas illegal fishing setiap tahunnya adalah sekitar Rp 13 trilyun. 

Pihak kepolisian RI sudah menelusuri pelanggaran ini hingga ke Thailand. Hasilnya antara tahun 2005 hingga 2006 hanya 31 kapal ikan yang terdaftar kepemilikannya di KBRI Bangkok. Padahal, jumlah kapal Thailand yan beroperasi di Indonesia jauh lebih besar dari angka tersebut. Selain itu, terjadi peningkatan pembelian kapal bekas Thailand pada September 2006, sebelum dihentikan izin penangkapan ikan kapal dari negeri Gajah Putih itu. 

Menghadapi masalah keamanan di perbatasan laut seperti dalam kasus Selat Malaka ataupun illegal fishing, tentunya pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada kekuatan militer (TNI Angkatan Laut dibantu dengan Polisi Perairan dan Udara serta Bea Cukai dan Imigrasi) menjadi wajar apabila berperan lebih dominan. Berbeda halnya dengan masalah perbatasan di darat, yaitu di pulau Kalimantan dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Kalimantan. Di sepanjang perbatasan darat, kebutuhan yang lebih mengemuka adalah pendekatan keamanan non tradisional yang bertumpu pada human security, tak semata-mata military security. Aspek human security yang paling dominan dalam hal ini adalah economic security (keamanan ekonomi) dan food security (keamanan pangan). 

Beberapa kasus yang mengemuka terkait dengan kesejahteraan ekonomi yang menimbulkan masalah di perbatasan antara lain seperti yang terjadi di Desa Suruh Tembawang, Kalimantan Barat, yang berbatasan fisik dengan Serawak, Malaysia:
Warga perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) ternyata banyak yang memiliki kartu kewarganegaraan Malaysia. Ini dibuktikan dengan kepemilikan kartu identitas (identity card/IC) Malaysia. Pengurusannya juga tidak tidak terlalu sulit sehingga banyak warga yang mengurus IC. Sebagai contoh adalah warga Desa Suruh Tembawang, desa terpencil dan terisolasi yang terletak di perbatasan Kalbar-Sarawak dengan jarak sekitar 64 km dari pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) Entikong. Sejauh ini sedikitnya 139 warga Desa Suruh Tembawang beralih statusnya jadi WN Malaysia. Hal ini dikarenakan Desa Suruh Tembawang berbatasan langsung dengan dusun Gun Sapit di Serawak. Penduduk Suruh Tembawang juga sering berniaga ke Gun Sapit karena mereka memang masih memiliki hubungan kekerabatan karena berasal dari etnis yang sama. Di saat petugas Jabatan Pendaftar Negara (JPN) Malaysia mendaftar, mereka turut mendaftar sehingga memperoleh IC.

Kasus lain yang tak kalah unik dan menarik sekaligus menghadirkan permasalahan kesejahteraan di perbatasan terjadi di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan- Kalimantan Timur. Harian Suara Merdeka edisi 17 Mei 2005 menyajikan reportase menarik tentang kronik kehidupan di perbatasan Pulau Sebatik :
Puluhan rumah panggung tampak berderet-deret sepanjang jalanan berbatu. Sekilas, tak ada yang istimewa dari rumah-rumah itu. Tidak ada pagar kawat berduri atau tembok tinggi seperti laiknya perbatasan dua negara. Kecuali beberapa patok yang tersembul setinggi 10 cm, tak setitik pun tengara bahwa rumah-rumah itu berdiri di atas wilayah Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatiksenyatanya merupakan pulau terluar Kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia. Secara administratif, pulau kecil berpenduduk 26.400 jiwa di seberang Kalimantan ini "terbelah" menjadi dua. Sebagian masuk wilayah Indonesia dan sebagian lainnya masuk wilayah Malaysia. Dan Desa Aji Kuning adalah bagian dari tanah air yang "terbagi" itu. Ketidakjelasan batas Indonesia-Malaysia sesungguhnya tak hanya terjadi di lautan seperti yang kini terjadi di Blok Ambalat, Kalimantan Timur. Di daratan seperti Desa Aji Kuning, kesimpangsiuran batas negara bukanlah hal yang luar biasa. Sebut saja RT 14 Desa Aji Kuning, secara de jure sesungguhnya masuk wilayah Malaysia. Meski demikian, penduduk yang sudah bermukim di pulau itu sejak tahun 1975 tak pernah merisaukan sejengkal pun tanah batas wilayah. ''Boleh dibilang setiap hari kami pergi ke luar negeri. Bagaimana tidak, ruang tamu ada di Indonesia, dapur ada di Malaysia,'' kelakar H Bedu Rahang. Namun persoalan batas negara bukanlah harga mati di Sebatik. Sebab petugas dan fasilitas penjagaan terbilang minim. Sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia-sekitar 1.950 kilometer misalnya, hanya tersedia 30 pos perbatasan. Artinya, setiap pos harus menjaga wilayah sepanjang 65 kilometer. Seorang petugas TNI, Harianja (30), menuturkan, pemeriksaan di daerah tak berpenjaga jauh lebih longgar. Sebab warga sering lalu-lalang ke daerah perbatasan. ''Kalau setiap saat harus menunjukkan paspor, tentu repot. Lha wong saban sore kami musti jalan kaki mengambil air ke sumur Malaysia,'' ujar pria asal Sidoarjo Jawa Timur itu. Apa yang dikatakan Harianja bukanlah mengada-ada. Saat musim kemarau tiba, warga Aji Kuning harus mencari air hingga ke Malaysia. Mereka berjalan kaki menembus perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan sumber kehidupan. ''Kami cukup menunjukkan KTP kepada petugas yang berjaga jaga di perbatasan Malaysia. Atau, kalau sudah hapal ya lewat saja. Toh penduduk sini tak banyak, mereka hapal siapa-siapa yang butuh air,'' tutur Harianja.

Studi yang dilakukan LIPI pada tahun 2007 di Krayan Kalimantan Timur, Long Pasia, Sabah – Malaysia, dan Lun Bawan di Ba Kelalan, Sarawak – Malaysia, ketiganya adalah desa-desa yang berdampingan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara, menunjukkan bahwa ikatan antara masyarakat yang berbeda kewarganegaraan di perbatasan tersebut telah terjadi begitu lama melalui interaksi perdagangan. Apalagi mereka mempunyai ikatan etnis yang sama (Sellato, 1994 dan Crain 1994). Sampai saat ini, kendati menghadapi kendala fisik seperti ketiadaan akses jalan raya dan terisolir dari bagian propinsi yang lain (landlocked) namun hubungan perdagangan dan perekonomian tersebut masih berlangsung. 

Berdasarkan ilustrasi ketiga kasus di atas, nampaklah bahwa masalah perbatasan tidak semata-mata masalah keamanan militer (hankam) saja. Namun juga masalah kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial. Berapa banyakpun jumlah tentara ditugaskan menjaga perbatasan, apabila masalah kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial tak tuntas ditangani maka pelanggaran-pelanggaran terhadap perbatasan fisik akan selalu ada. 

Maka pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada aspek kemiliteran saja tidaklah cukup. Namun harus juga mengakomodasi pendekatan keamanan non tradisional dengan perspektif human security-nya. Dalam hal ini adalah jaminan terhadap economic security dan food security.

D.1. Belajar dari Kasus Sipadan Ligitan dan Pulau Miangas, Sulawesi Utara

Kalahnya Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di muka International Court of Justice (ICJ) The Hague pada tahun 2002 adalah ibarat rapor merah bagi diplomasi Indonesia. Namun I Made Arsana berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya. 

Apa dasar kemenangan Malaysia? Menurut putusan ICJ pada 17 Desember2002, Malaysia dimenangkan karena telah menjalankan kontrol efektif terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan berupa fungsi administrasi pemerintahan, legislatif, maupun quasi yudikatif. Para hakim (16 hakim memenangkan Malaysia dan 1 menolak) bersepakat bahwa Malaysia terlihat memiliki niat dan keseriusan untuk menjalankan fungsi kenegaraannya di Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia juga telah lama (ketika masih dijajah Inggris) menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai daerah konservasi penyu dan burung. Bahkan mereka pernah mengeluarkan Turtle Preservation Ordinance pada tahun 1917. Klaim-klaim yang terbukti secara sosiologis inilah yang kurang dipunyai Indonesia dan menyebabkannya kalah di persidangan ICJ tersebut.

Pelajaran berikutnya adalah kasus Pulau Miangas di Sulawesi Utara. Pulau terluar Indonesia yang hanya berjarak 78 mil dari Davao City – Mindanao, Philippines dan berjarak 324 mil dari Manado, Sulawesi Utara ini, sempat menuai masalah pada bulan Mei 2005. Matinya sekretaris desa, Jhonly Awala di tangan kepala polisi setempat berujung pada pembangkangan terhadap pemerintah RI. Merah putih diturunkan dan diganti bendera negara Philippina. Rupanya kematian ini hanya salah satu pemicu saja, karena sudah lama rakyat setempat yang hanya berjumlah 982 jiwa hidup secara terisolir. Tanpa listrik, tanpa hiburan, tanpa alat komunikasi. Mereka merasa lebih dekat dengan Philippina daripada Indonesia. Apalagi, sebagian besar mereka memang mempunyai keluarga di Mindanao dan transaksi sehari-harinya menggunakan Philippines Pesos daripada Rupiah.

E. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 

Mengelola perbatasan Indonesia – Malaysia bagi pemerintah Indonesia tak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada pendekatan kemiliteran (hankam) belaka. Pendekatan kemiliteran tetap penting, utamanya dalam menangani masalah di perbatasan laut ataupun tindak pidana di perbatasan darat seperti illegal logging, smuggling, ataupun human trafficking. Namun pendekatan kemiliteran saja tidak cukup karena persoalan perbatasan fisik Indonesia- Malaysia jauh lebih kompleks daripada masalah kemiliteran belaka (goes far beyond military threat). 

Kasus-kasus yang terjadi di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan seperti bergantinya kewarganegaraan sejumlah besar WNI menjadi warga negara Malaysia, ataupun lintas batas secara illegal tanpa melalui pintu yang resmi, harus dipahami dalam perspektif mengejar kesejahteraan ekonomi (economic security) dan juga keamanan pangan (food security), daripada sebagai pembangkangan anak bangsa terhadap negaranya. Maka, dalam konteks ini, perhatian terhadap pendekatan keamanan non tradisional dalam mengelola masalah perbatasan menjadi amat penting, utamanya adalah perhatian terhadap aspek-aspek human security sebagaimana dimaksud dalam laporan UNDP tahun 1994. Kemudian, belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Miangas di perbatasan laut dengan Philippina, negara RI harus juga mengupayakan perhatian terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Negara harus memposisikan pulau-pulau tersebut sebagai halaman depan (frontyard) Indonesia dan bukannya laksana halaman belakang (backyard) yang boleh diabaikan begitu saja.  pembangunan mesti dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau terluar tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara yuridis namun juga secara sosiologis.


*Dosen FH UI

Kebijakan Rejim Paspor Uni Eropa yang Diskriminatif


Uni Eropa baru saja mengumumkan rejim visa baru yang kontroversial. Kebijakan ini mengijinkan warga Macedonia, Montenegro dan Serbia bepergian ke seluruh negara Uni Eropa tanpa visa, namun secara diskriminatif tidak memasukkan tiga negara Balkan lainnya yang berpenduduk mayoritas Muslim, yakni Bosnia Herzegovina, Albania dan Kosovo yang baru merdeka.  Justru yang disayangkan, pengumuman itu terjadi tepat 5 hari pasca peringatan pembantaian Srebenica di Juli 1995 yang merenggut lebih 8000 Muslim Bosnia dan disusul dengan pembasmian etnis yang menewaskan antara 25 ribu hingga 30 ribu pengungsi  dari wilayah tersebut  atas perintah Jendral Ratco Mladic.   

Rejim visa baru ini tak pelak mengundang perdebatan dan kritik tajam. Kebijakan tersebut dianggap sama buruknya dengan respon pasif Uni Eropa saat itu. Bosnia digempur habis-habisan oleh senjata berat Serbia dalam perang Bosnia 1992-1995 yang menewaskan 250 ribu Muslim Bosnia, namun Uni Eropa tidak berbuat apa-apa untuk mencegah pembantaian tersebut. Selama tiga tahun, Uni Eropa menolak desakan dunia untuk melakukan intervensi pembantaian atas Muslim Bosnia. Bahkan ketika PBB melakukan embargo senjata dalam kenyataannya embargo itu hanya berlaku bagi para pejuang Bosnia.

Para pakar menyatakan bahwa Uni Eropa sedang melakukan hal sama, yakni menghukum rakyat Bosnia karena penolakan warga kroasia Bosnia dan Serbia Bosnia untuk memberikan hak pengeluaran paspor kepada pemerintah Federal.  Partai Hijau dan sayap pemuda JEF (Young European Federalist)  mengkritik tajam keputusan itu dan mengatakan langkah itu hanya akan  menciptakan perpecahan baru di wilayah bekas Yugoslavia.  Daniel Cohn Bendit pemimpin partai Hijau di Parlemen Eropa mengecam rejim visa baru itu sebagai kebijakan hipokrit.  Dia menuduh Uni Eropa secara sengaja memecah belah Eropa Tenggara dan mendiskriminasikan korban pembantaian Sebrenica.

Para pakar dalam parlemen Eropa juga mengecam langkah tersebut dan menggambarkan kebijakan itu sebagai bentuk diskriminasi telanjang atas Muslim Bosnia. Mereka menganggap alasan yang secara resmi disebutkan komisi Uni Eropa tidak mengada-ada. Bosnia belum memiliki sistem paspor  mocrochip yang memuat  data biometric. Alasan itu sendiri terbantahkan karena masih ada jutaan pengguna paspor Uni Eropa yang belum menggunakan paspor biometric. Sebaliknya, para pakar menyatakan, “Satu-satunya alasan tidak masuknya Bosnia dan Kosovo adalah karena tidak ada satu negarapun Uni Eropa yang memperjuangkannya”, tutur  mantan ahli dalam parlemen Uni Eropa. 

Saat  mengumumkan rejim baru ini, komisioner UE, Olli Rehn ditanya apakah dengan diberlakukan kebijakan visa baru ini berarti Mladic, sang jagal  yang berpaspor Serbia akan dapat bepergian bebas ke seluruh negara Uni Eropa sementara  keluarga Bosnia yang menjadi korban kekejamannya justru  dilarang. Rehn serta merta menolak interpretasi tersebut . Dia  mengatakan Uni Eropa tidak akan mendiskriminasikan setiap negara di Balkan manapun termasuk Bosnia dan Kosovo.  Sebaliknya dia menyebutkan bahwa pengecualian bagi Bosnia karena dalam pandangannya negara itu terlalu sibuk dengan wacana nasionalisme dan tidak memfokuskan kepada upaya memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi bagian Uni Eropa.

Dengan rejim visa baru ini, warga Macedonia, Montenegro dan Serbia dapat bepergian bebas ke seluruh negara Uni Eropa tanpa menggunakan visa mulai 1 Januari mendatang. Proposal ini sendiri masih membutuhkan dukungan secara resmi dari 27 negara uni Eropa dalam sidang Oktober mendatang.

Ada beberapa alasan untuk menyatakan bahwa kebijakan baru Uni Eropa itu bersifat diskriminatif:

pertama, pembatasan visa bagi Bosnia ternyata hanya kepada Muslim Bosnia  bukan kepada etnik Kroasia dan Serbia yang menjadi bagian penduduk Bosnia Herzegovina. Kedua etnik itu selama ini menikmati paspor ganda yang diterbitkan pemerintah Serbia dan Kroasia. Dengan demikian, pembatasan itu hanya berlaku bagi etnis Bosnia. Secara de facto, kriteria etnik sendiri akan dapat memutuskan apakah seseorang dapat menikmati rejim bebas visa atau tidak.

Kedua, Uni Eropa ,mengabaikan fakta bahwa Bosnia Herzgovina berada dalam taraf yang sama dalam perberlakukan sistem biometrik. Kedua negara itu juga meloloskan beberapa regulasi yang berkaitan dengan isu liberalisasi visa.

Ketiga, yang paling menyakitkan, Serbia Bosnia dan Kroasia Bosnia menolak memberikan hak kepada pemerintahan federal di Sarajevo mengeluarkan sistem paspor biometrik. Namun Uni  Eropa sama sekali tidak membantu upaya memperkuat pemerintah federal.

Dalam pernyataan pedasnya,  Cohn Bendit menyatakan bahwa  tindakan Uni Eropa hipokrit dan cacat moral. Uni Eropa telah kehilangan kredibilitasnya karena hanya semakin memperkuat kedudukan etnis Sebia dan Kroasia di Bosnia yang sebetulnya telah menikmati dwi kewarganegaraan sementara menyudutkan etnis Bosnia. Mereka  dulu menderita karena kebijakan Uni  Eropa yang merugikan mereka selama perang di era 90-an. Jika kebijakan liberalisasi visa dianggap sebagai upaya menempa harapan bagi rekonsiliasi maka alih-alih kebijakan Uni Eropa terbaru justru semakin mempertajam  perpecahan dan membangkitkan permusuhan.   (22 Juli 2009)S

(Setahun kemudian, tepatnya 15 Desember 2010, Uni Eropa akhirnya mencabut pembatasan visa bagi Bosnia dan Albania).

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

Visitors By Countries

free counters

Kalender

Jam

Link Facebook

Advertorial

Advertorial

Total Visitors

Rincian Pengunjung

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget